
LOMBOK TIMUR—Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Partai Gelora Fahri Hamzah mengkritik kinerja anggota DPR RI.
Anggota dewan saat ini sibuk mengurusi dana bantuan sosial (bansos). Padahal fungsi mereka bukan menangani urusan bansos. Bahkan legislatif saat ini terkesan sibuk menjadi pelayanan eksekutif. ”Anggota legislatif bukan pengantar bansos seperti yang terjadi sekarang,” tegas Fahri pada acara konsolidasi Partai Gelora di Taman Tugu Selong, Minggu (19/3/2023).
Jika legislatif lanjutnya, mengambil pekerjaan eksekutif itu artinya mengambil pekerjaan sebagai antek-anteknya eksekutif.
Fahri menyesalkan, malah yang terjadi adalah legislatif mengambil alih pekerjaan eksekutif. “Harusnya struktur kerjanya adalah tekan eksekutif dengan pengawasan supaya dia melayani rakyat secara luas dengan uang yang tidak dikorupsi,” jelasnya.
Fahri juga mengkritik anggota DPR RI dapil NTB yang dinilai melempem. Mereka tidak bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat maupun ketimpangan yang ada. ” Sepuluh anggota dewan dari Nusa Tenggara Barat tidak ada yang berbunyi atas kezaliman yang terjadi. Tidak ada yang berbunyi atas ketimpangan yang terjadi,”tegasnya.
Baru-baru ini mencuat informasi adanya transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp 300 triliun. Tapi anggota dewan tidak mengkritisinya. Berbeda dengan kasus Bank Century senilai Rp Rp 6,7 tiliun tapi dewan bersuara lantang.” Sekarang ada pestapora penyimpangan ratusan tiriliun bahkan ribuan triliuan, anggota dewan mingkem. (Mereka) sibuk menjadi pelayanan eksekutif bawa sumbangan kesana kemari,” tambahnya.
Menurutnya, kader Partai Gelora akan bersikap oposan terhadap pemerintah. Jika Partai Gelora menang, maka tidak ada anggota dewan yang jadi pelayanan penguasa.
Sehari sebelumnya, saat bincang-bincang pemimpin media di NTB Fahri mengatakan Partai Gelora meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI agar memfasilitasi ada debat antar ketua partai politik. Tujuan untuk mengukur dan mengetahui kualitas, kapasitas dan kompetensi dari calon pemimpin yang ditawarkan dari parpol tersebut. “ Seharusnya KPU bikin debat ketua parpol. Sehingga publik tahu kualitas dari calon pemimpin ditawarkan parpol,” katanya.
Menurutnya, seharusnya pemilu itu menyediakan panggung debat untuk ketua parpol. Dengan panggung debat itu, masing-masing ketua parpol bisa menawarkan dan mengadu konsep ide dan gagasan yang ditawarkan dengan parpol lain. Namun dia menyadari, ada sejumlah pihaknya yang tidak suka dan menghendaki hal tersebut. “ Bangsa ini memerlukan ide dan gagasan. Tapi memang ada tidak sukai hal ini,” ucapnya.
Dia juga menyoroti maraknya politik uang baik di pemilu dan pilkada. Menurutnya, tidak ada yang bisa diandalkan dan diharapkan dari pemimpin yang melakukan politik uang. Masyarakat pemilih pun, kata dia, tidak akan berhak untuk menagih janji politik dari calon pemimpin atau caleg tersebut. Pasalnya, hak suara yang dimiliki sudah dibeli dengan politik uang. “ Tidak berhak lagi menagih janji. Karena suara yang sudah dibeli,” imbuhnya.
Ketua umum DPN Partai Gelora Anis Matta menilai uang adalah sebuah keniscayaan. Namun uang bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam kemenangan di kontestasi politik.
Dia mengakui, hampir sebagian besar kader maupun caleg Partai Gelora adalah kaum duafa. Dia lalu meminta kepada kader maupun caleg Partai Gelora agar lebih menonjolkan narasi ide dan gagasan tentang kebesaran bangsa ini kedepan jika dipimpin oleh Partai Gelora.” Tapi kami sudah punya taktik dan strategi memenangkan pemilu 2024,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, pihaknya memiliki optimisme dan keyakinan kuat bahwa provinsi NTB akan menjadi salah satu basis utama Partai Gelora di Indonesia. Dia lalu kader dan pengurus Partai Gelora di NTB untuk tetap fokus bekerja dan berikhtiar maksimal memenangkan partai pemilu 2024. (AL04/AL-03)