MATARAM — Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB berhasil mengungkap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dari pengungkapan tersebut, dua orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perdagangan orang yang saat ini.“Pengungkapan ini menjadi salah satu bentuk keseriusan Polda NTB dalam memberantas pelaku TPPO di wilayah hukum Polda NTB,”jelas Kabid Humas Polda NTB AKBP Mohammad Kholid SIK MM saat konferensi pers di Polda NTB Senin (11/11/2024).
Hadir sekaligus memimpin Konferensi pers Direktur Reskrimum Polda NTB bersama Kabid Humas Polda NTB, Perwakilan Disnakertrans Provinsi NTB, Kepala P3MI NTB dan para korban. Kedua tersangka juga dihadirkan.
Direktur Reskrimum Polda NTB Kombes Pol. Syarif Hidayat SIK menjelaskan, pengungkapan kasus ini berkat informasi yang diterimanya dari masyarakat, kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan berbagai upaya penyelidikan. Penyidik menemukan adanya indikasi TPPO hingga akhirnya Penyidik menetapkan dua tersangka.
Kedua tersangka tersebut adalah SE seorang pria asal Lombok Timur selaku Direktur PT. RSEI. Tersangka selanjutnya adalah WS seorang perempuan dengan alamat Kecamatan Ampenan Kota Mataram. WS merupakan pemilik Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang beralamat di Ampenan.
Dalam kasus tersebut 28 orang menjadi korban dan 17 orang melaporkan kasus tersebut ke Polda NTB. Rinciannya, 6 orang warga Kota Mataram, 5 orang dari Lombok Barat, 4 orang dari Lombok Tengah serta 2 orang dari Lombok Utara. Sementara 11 korban lainnya belum melaporkan.
Modus pelaku para korban dijanjikan akan bekerja dengan status magang di Jepang. Korban akan diberangkatkan oleh PT RSEI. Selanjutnya korban membayar antara Rp 30 juta sampai Rp 49 juta kepada WS. “Namun sejak Desember 2023 hingga November 2024 mereka belum juga diberangkatkan dengan berbagai alasan,” kata Syarif Hidayat.
Kedua tersangka dijerat pasal 11 Jo Pasal 4 UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO dan atau pasal 81 Jo pasal 69 UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI dengan ancaman minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 Tahun penjara serta pidana denda sebanyak minimal Rp 120 juta hingga tertinggi Rp 600 juta. (AL-03)