Beranda OPINI LSM “Tukang Pressure”: Ketika Advokasi Berbelok Menjadi Transaksi

LSM “Tukang Pressure”: Ketika Advokasi Berbelok Menjadi Transaksi

0
Foto : Ilustrasi

Oleh : Lalu Wisnu Pradipta (Founder LIDI Foundation – pegiat inklusi disabilitas dan advokasi kebijakan sosial di Nusa Tenggara Barat. Aktif menulis isu-isu sosial, dan pemberdayaan kelompok rentan) 

Dalam ekosistem demokrasi modern, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menempati posisi strategis. Keberadaan mereka dibutuhkan untuk memastikan kebijakan publik tetap berpihak pada kepentingan warga. LSM menjadi kanal aspirasi, pengawas jalannya pemerintahan, sekaligus pendamping kelompok rentan yang sering terabaikan. Di banyak tempat, peran ini terbukti nyata dan berkontribusi besar bagi kemajuan demokrasi.

Namun, di tengah peran ideal tersebut, muncul fenomena yang mengusik kepercayaan publik: keberadaan sebagian kecil LSM yang memposisikan diri sebagai kelompok penekan (pressure group) terhadap pemerintah maupun perusahaan, bukan semata untuk mendorong perbaikan kebijakan, tetapi demi memperoleh keuntungan tertentu.

Dari Advokasi Menuju “Politik Kompensasi”

Dalam praktiknya, fenomena ini biasanya terlihat ketika ada proyek strategis atau investasi yang sedang berjalan. Sebuah LSM tiba-tiba tampil vokal, mengangkat isu sosial atau lingkungan, menggelar protes, bahkan melayangkan ancaman gugatan. Narasi yang dipakai selalu berbasis kepentingan masyarakat.

Namun publik kemudian menyaksikan hal yang janggal: isu tersebut meredup setelah terjadi komunikasi tertutup atau pertemuan “empat mata”. Aspirasi warga yang semula dikibarkan, tiba-tiba seperti kehilangan ruh. Pada titik ini, advokasi tidak lagi berdiri di atas idealisme, tetapi terjebak dalam pola tawar-menawar yang cenderung transaksional.

Fenomena inilah yang kemudian melahirkan istilah sinis: “LSM tukang pressure.”

Pandangan ini tentu tidak lahir dari ruang hampa. Ada pengalaman, ada jejak kasus, ada kekecewaan. Dan celakanya, stigma tersebut kemudian digeneralisasi kepada seluruh LSM—padahal mayoritas LSM bekerja dengan hati, profesionalisme, dan pengorbanan.

Dampak Serius terhadap Kepercayaan Publik

Yang paling berbahaya dari praktik ini bukan hanya persoalan etika organisasi, melainkan kerusakan reputasi kolektif. Di mata masyarakat, LSM yang seharusnya menjadi pilar moral justru tampak sebagai lembaga yang mudah tergelincir pada kepentingan pragmatis.

Kepercayaan publik luntur. Pemerintah menjadi curiga. Dunia usaha menjadi defensif. Bahkan kelompok rentan yang semula menaruh harapan pun akhirnya kehilangan rasa percaya. Demokrasi pun kehilangan salah satu instrumen kontrol sosial yang paling penting.

Padahal, faktanya, di berbagai daerah masih banyak LSM yang bekerja dalam kesunyian: mendampingi warga kecil, memperjuangkan akses pendidikan, membantu penyandang disabilitas, mengawal korban kekerasan, hingga memastikan hak-hak dasar warga tetap terjamin. Mereka bekerja dengan integritas, meski tanpa sorotan kamera.

Namun kerja-kerja mulia itu sering kalah bising oleh segelintir praktik menyimpang.

Ketika Pemerintah dan Perusahaan Ikut Memilih Jalan Pintas

Harus diakui, praktik pressure, based negotiation ini juga tumbuh subur karena budaya kompromi tertutup yang dipilih sebagian pejabat atau pengusaha. Ketika dihadapkan pada kritik, mereka lebih memilih jalan instan daripada membangun dialog terbuka dan akuntabel.

Sikap ini justru memperkuat ekosistem transaksi kepentingan. Konflik diselesaikan tanpa transparansi. Publik ditinggalkan sebagai penonton. Pada akhirnya, ruang partisipasi warga melemah dan keputusan publik kehilangan legitimasi etis.

Kita Butuh LSM yang Kuat , Bukan yang Transaksional

Sudah saatnya semua pihak kembali menempatkan peran LSM pada rel yang semestinya. Advokasi bukanlah alat dagang. Ia adalah kerja mulia yang membutuhkan standar etik:
• transparansi keuangan
• akuntabilitas publik
• pengelolaan organisasi yang profesional
• independensi dari kepentingan sempit
• keberpihakan tulus pada kepentingan warga

LSM yang berani bicara keras tetapi tetap jujur dan terbuka, justru akan lebih dihormati. Sebaliknya, LSM yang menjadikan tekanan sebagai alat untuk bertransaksi, perlahan akan kehilangan legitimasi sosial.

Di saat yang sama, pemerintah dan perusahaan juga memikul tanggung jawab moral. Hadapi kritik dengan dialog terbuka, bukan transaksi di balik layar. Libatkan masyarakat secara bermartabat. Karena demokrasi hanya akan sehat jika setiap elemen tunduk pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Mengembalikan Martabat Advokasi

Pada akhirnya, inti persoalan ini bukanlah soal siapa yang paling kuat atau paling vokal, melainkan soal martabat advokasi. Apakah ia masih menjadi suara nurani publik, atau telah tergelincir menjadi alat negosiasi kepentingan?

Kita membutuhkan LSM yang tajam dalam berpikir, tegas dalam bersikap, tetapi tetap menjunjung etika dan integritas. LSM yang tidak mudah tergoda oleh kepentingan sesaat. LSM yang tetap berdiri pada prinsip, bahkan ketika ruang kompromi terbuka lebar.

Karena hanya dengan cara itulah demokrasi bisa tetap tegak, dan kepercayaan publik kembali pulih.

Artikulli paraprak12 Warga Binaan Lapas Lombok Barat Terima Remisi Khusus Natal 2025
Artikulli tjetërDinyatakan Lulus, 116 Calon Bintara Brimob Polda NTB Siap Berangkat ke SPN Jawa Timur

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini