Beranda OPINI Ada Apa Dengan Komisi Informasi NTB?

Ada Apa Dengan Komisi Informasi NTB?

0
Praktisi Media, M. Sukri Aruman. Foto (Istimewa)

Oleh: M. Sukri Aruman (Praktisi Media) 

“Kalau anda diminta menyebut lembaga negara di daerah yang paling dikenal publik, lembaga mana yang muncul pertama di benak anda?”

Pertanyaan sederhana ini saya ajukan pada seorang kawan. Tanpa ragu, ia menyebut KPU, Bawaslu, dan Ombudsman. Namun ketika saya menyinggung Komisi Informasi (KI) NTB, ia terdiam sejenak. “Oh, itu yang mirip KPID ya?” katanya, sedikit ragu.

Jawaban spontan ini mungkin mewakili persepsi banyak orang. Komisi Informasi NTB, lembaga yang menjadi garda depan keterbukaan informasi publik, ternyata belum menjadi nama yang akrab di telinga masyarakat.

Padahal, perannya amat vital dalam memastikan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik-tiga pilar utama dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Ironisnya, di saat NTB berhasil menyandang predikat sebagai provinsi informatif di tingkat nasional, popularitas KI NTB justru masih kalah dibanding lembaga negara lain yang sejenis.

Eksistensinya hanya terasa di kalangan terbatas: pejabat publik, PPID, atau mereka yang pernah bersengketa soal informasi. Di luar itu, masyarakat umum. bahkan belum benar-benar memahami apa fungsi dan kewenangan Komisi Informasi.

Akar Masalah: Elitisme Struktural dan Budaya yang Belum Terbuka

Masalah utama yang dihadapi KI NTB bukanlah kurangnya regulasi atau kapasitas hukum. Melainkan, minimnya kedekatan dengan publik dan lemahnya Internalisasi nilai keterbukaan di tubuh birokrasi daerah.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting:

Pertama; peran Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagai ujung tombak keterbukaan masih lemah. Banyak PPID hanya berfungsi sebagai papan nama, belum menjadi pusat layanan informasi yang aktif. Posisi PPID belum masuk dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) ASN, sehingga sering dianggap tugas tambahan, bukan bagian integral dari profesionalisme birokrasi. Kedua; budaya birokrasi yang belum berubah. Keterbukaan masih dilihat sebagai kewajiban administratif, bukan semangat pelayanan. Banyak instansi masih menutup diri karena takut disalahkan, bukan karena menjaga etika informasi.

Ketiga; putusan KI yang belum sepenuhnya ditaati. Dalam sejumlah kasus, keputusan Komisi Informasi tidak dilaksanakan oleh badan publik, membuat pemohon informasi kehilangan kepercayaan dan enggan melanjutkan sengketa. Keempat; branding kelembagaan KI NTB yang lemah. Minimnya ekspos media dan komunikasi publik membuat lembaga ini seolah jauh dari masyarakat, padahal keberadaannya strategis untuk memastikan hak publik atas informasi.

Kondisi inilah yang membuat posisi KI NTB terkesan elitis: penting secara fungsi, tapi jauh secara kedekatan emosional dengan publik.

Membangun Paradigma Baru: Dari Wajib Terbuka ke Bangga Berbagi

Sudah saatnya Komisi Informasi NTB berikhtiar melakukan gerakan perubahan paradigma. Dari semangat “wajib terbuka” yang bersifat normatif, menjadi gerakan “bangga berbagi yang lahir dari kesadaran moral dan budaya.

Keterbukaan informasi publik tidak boleh berhenti pada regulasi, tetapi harus menjadi etos pelayanan. Artinya, setiap ASN, setiap badan publik, dan setiap PPID harus merasa bangga menjadi bagian dari budaya transparansi.

Komisi Informasi NTB punya peran strategis sebagai lokomotif Budaya Keterbukaan membangun kepercayaan, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik melalui kolaborasi, sinergi, edukasi, literasi dan sosialisasi informasi inovatif kreatif berbasis digital.

Saya menilai harus ada terobosan program inovatif untuk mewujudkan hal tersebut lima tahun ke depan guna mendukung visi dan misi Pemerintah Provinsi yakni menuju NTB Makmur Mendunia.

Dua diantaranya adalah Program Sekolah Keterbukaan Informasi Publik (SKIP) NTB atau PPID Academy dan KI NTB Media Darling

PPID ACADEMY/Sekolah Keterbukaan Informasi Publik (SKIP) NTB

Keterbukaan informasi publik adalah ruh dari pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan berkeadaban. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 telah memberi dasar hukum yang kuat, namun dalam praktiknya, hak publik untuk tahu masih sering tersendat oleh lemahnya kapasitas dan kesadaran di tingkat pelaksana, terutama di kalangan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Banyak PPID menjalankan tugas ini sebatas formalitas administratif, bukan sebagai amanah penting dalam menjaga kepercayaan publik. Padahal, PPID sejatinya adalah wajah keterbukaan lembaga publik.

Dari sinilah saya melihat perlunya sebuah terobosan yang lebih mendasar, bukan sekadar bimbingan teknis sesaat, melainkan pembinaan berkelanjutan yang membentuk karakter dan profesionalisme.

Saya menawarkan program PPID ACADEMY atau Sekolah Keterbukaan Informasi Publik (SKIP) NTB sebagai wadah pembelajaran dan kaderisasi bagi para PPID di seluruh NTB.

Program ini bukan hanya mengajarkan apa yang harus dilakukan, tetapi juga mengapa keterbukaan itu penting dan bagaimana menjadikannya bagian dari budaya kerja birokrasi. PPID ACADEMY akan menjadi ruang pendidikan yang memadukan pengetahuan, keterampilan, dan integritas dalam satu sistem pembelajaran yang sistematis dan kolaboratif.

Melalui program ini, para PPID akan mendapatkan pembekalan utuh tentang regulasi keterbukaan informasi, teknik pengelolaan data dan dokumentasi, serta etika pelayanan publik. Mereka juga akan didorong untuk mengubah pola pikir-dari menganggap pelayanan informasi sebagai beban tambahan menjadi sebuah kebanggaan dalam melayani masyarakat.

Dengan kolaborasi bersama Komisi Informasi, Diskominfotik, BPSDM, universitas, asosiasi media, dan komunitas kreatif, PPID ACADEMY akan melahirkan kader-kader keterbukaan informasi publik yang cerdas, komunikatif, dan berjiwa melayani.

Saya percaya, pencegahan sengketa informasi publik harus dimulai dari hulu: memperkuat kapasitas PPID dan menanamkan nilai keterbukaan di setiap badan publik. Jika setiap PPID memahami peran strategisnya dan bekerja dengan profesionalisme serta keikhlasan, sengketa informasi yang masuk ke Komisi Informasi akan menurun secara signifikan. Masyarakat pun akan semakin percaya, karena merasa terlayani dengan baik oleh pemerintah.

Lebih dari itu, PPID ACADEMY / SKIP NTB akan menjadi model bagaimana membangun ekosistem keterbukaan informasi publik yang berkelanjutan. Para lulusan akademi ini diharapkan menjadi lokomotif perubahan di instansi masing-masing, menularkan semangat transparansi dan akuntabilitas hingga ke level paling bawah, termasuk desa. Dengan cara itu, kita tidak hanya mencetak PPID yang kompeten, tetapi juga menumbuhkan budaya pemerintahan terbuka di seluruh NTB.

Hal ini diyakini mampu meningkatkan jumlah badan publik informatif di Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan membumikan keterbukaan informasi publik.

KI NTB Media Darling: Membangun Wajah Ramah Keterbukaan Informasi

Di Nusa Tenggara Barat, Komisi Informasi memiliki peran strategis sebagai lembaga quasi peradilan yang memutus sengketa informasi antara pemohon informasi dan badan publik. Tetapi, kehadirannya belum sepopuler lembaga negara lain seperti KPU, Bawaslu, atau Ombudsman.

Branding kelembagaan KI belum kuat di ruang publik, karena minimnya ekspos media dan rendahnya literasi masyarakat tentang hak atas informasi. Padahal, dalam konteks demokrasi daerah, peran Ki sangat penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas berjalan seiring dengan pelayanan publik yang partisipatif.

Berangkat dari kenyataan inilah saya menilai program “KI NTB Media Darling”, sebuah inisiatif strategis untuk menjadikan Komisi Informasi sebagai lembaga yang “dekat dengan publik, populer dengan integritas”. Gagasan ini bukan sekadar kampanye komunikasi, tetapi sebuah gerakan kolaboratif yang melibatkan media, jurnalis, konten kreator, dan komunitas digital untuk bersama-sama membumikan semangat keterbukaan informasi di NTB.

Program ini berorientasi pada penguatan citra dan kedekatan emosional antara KI dan publik. Melalui pendekatan media engagement dan komunikasi digital, masyarakat diharapkan tidak hanya tahu keberadaan KI, tetapi juga memahami perannya secara substansial. KI harus hadir dengan wajah yang ramah, adaptif, dan edukatif bukan lembaga yang hanya muncul ketika ada sengketa, tetapi juga sebagai sumber inspirasi tentang bagaimana keterbukaan dapat memperbaiki tata kelola pemerintahan.

Secara sosial, program ini memiliki kelayakan tinggi karena NTB memiliki tingkat penetrasi internet dan penggunaan media sosial yang luas, terutama di kalangan muda.

Secara kelembagaan, KI NTB telah memiliki legitimasi hukum dan dukungan jaringan antar badan publik yang kuat. Sementara dari sisi kemitraan, banyak potensi kolaborasi yang bisa dibangun dengan organisasi media seperti JMSI, PWI, AJI, IJTI, lembaga penyiaran, universitas, hingga komunitas konten kreator daerah.

Dengan basis digital campaign, program ini juga efisien secara finansial dan bisa dibiayai melalui kombinasi APBD, CSR, serta dukungan sponsor media.

Konsep besar “KI NTB Media Darling” berpijak pada filosofi bahwa lembaga. negara harus hadir dengan cara yang komunikatif dan menginspirasi. Dalam konteks ini, keterbukaan informasi tidak hanya berbicara tentang regulasi dan putusan hukum, tetapi juga tentang bagaimana nilai transparansi bisa ditanamkan melalui komunikasi publik yang menarik, kreatif, dan berkelanjutan.

Beberapa strategi utama yang akan dijalankan antara lain: Pertama, Media Engagement & Literasi Publik, seperti forum “Media Gathering Transparansi”, program “KI Goes to Newsroom”, dan penghargaan “KI Journalist Award” untuk jurnalis yang konsisten mengangkat isu keterbukaan informasi publik.

Kedua, Digital Communication & Branding, melalui podcast “Ngopi Bareng KI”, konten edukatif #TahuHakmu di media sosial, dan publikasi digital seperti e maqz dan newsletter bulanan.

Ketiga, Kolaborasi dan Komunitas, melalui program “KI Academy” untuk mahasiswa dan ASN, pembentukan relawan digital “Sahabat KI”, serta pelatihan kreator muda melalui “KI Content Creator Camp”.

Keempat, Sinergi Lembaga dan Pemerintah, dengan forum “PPID Inspiratif” serta kerja sama dalam program “Open Government Collaboration” untuk memperkuat nilai keterbukaan di lingkup pemerintahan daerah.

Output dari program ini diharapkan berupa peningkatan ekspos KI NTB di media dan kanal digital, terbentuknya jaringan mitra komunikasi publik, serta meningkatnya literasi masyarakat tentang hak atas informasi. Sedangkan outcome jangka panjangnya adalah tumbuhnya kepercayaan publik terhadap KI NTB dan badan publik, serta terwujudnya ekosistem informasi yang terbuka, partisipatif, dan demokratis di NTB.

Keberhasilan program ini akan diukur melalui sejumlah indikator seperti meningkatnya pemberitaan positif tentang KI NTB, naiknya jumlah interaksi di media sosial resmi KI, bertambahnya kolaborasi dengan kampus dan komunitas kreatif, hingga peningkatan hasil survei publik tentang pengenalan dan pemahaman terhadap peran KI. Pada akhimya, keberhasilan ini akan turut memperkuat posisi NTB sebagai provinsi informatif di tingkat nasional.

Saya meyakini bahwa keterbukaan informasi publik tidak akan pernah menjadi budaya jika hanya dijaga lewat regulasi. la harus dihidupkan melalui komunikasi yang cerdas, kolaborasi yang luas, dan keteladanan lembaga dalam berinteraksi dengan masyarakat.

“KI NTB Media Darling” adalah langkah kecil menuju cita-cita besar: menjadikan Komisi Informasi bukan hanya lembaga pemutus sengketa, tetapi juga rumah bersama bagi gerakan keterbukaan informasi publik di Nusa Tenggara Barat.

Karena pada akhirnya, kepercayaan publik tidak dibangun dari keputusan hukum semata, melainkan dari kedekatan dan kehadiran lembaga yang benar-benar memahami kebutuhan informatif warganya. Dan di situlah, Komisi Informasi NTB harus menjadi teladan.

Artikulli paraprakIni Pesan Gubernur kepada 102 Atlet NTB yang Berlaga di Popnas dan Peparpenas 2025
Artikulli tjetërPNM Mekar Syariah Narmada Dibobol Maling, Kerugian Capai Puluhan Juta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini