
MATARAM–Kota Mataram masuk dalam sepuluh kota dengan skor toleransi terendah di Indonesia berdasarkan Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 dari SETARA Institute.
SETARA Institute menempatkan Kota Mataram berada di ranking 90 dari 94 kota yang diteliti. Kota Mataram meraih skor 4,387, sehingga masuk urutan ke-5 dalam sepuluh kota Indonesia dengan skor toleransi terendah.
Menurut SETARA Institute, IKT ini merupakan hasil pengukuran yang dilakukan untuk mempromosikan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia. Indeks Kota Toleran 2022 merupakan laporan keenam SETARA Institute sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2015. ”IKT ditujukan untuk memberikan baseline dan status kinerja pemerintah kota dalam mengelola kerukunan, toleransi, wawasan kebangsaan dan inklusi sosial. Baseline ini akan menjadi pengetahuan bagi masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak yang ingin mengetahui kondisi toleransi di 94 kota di Indonesia,” jelasnya dikutip dari siaran persnya.
Ditambahkan, studi ini ditujukan untuk mempromosikan pembangunan dan pembinaan ruang-ruang toleransi di kota yang dilakukan oleh pemerintah kota setempat dan/atau didukung serta berkolaborasi bersama elemen masyarakat secara umum. ”Objek kajian IKT adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia. 4 kota yang dieliminir merupakan kota-kota administrasi di DKI Jakarta yang digabungkan menjadi satu DKI Jakarta,” tambahnya.
Studi ini menetapkan empat variabel dengan delapan indikator sebagai alat ukur. Variabel pertama yakni regulasi pemerintah kota. Ada dua indikatornya yakni rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum
pendukung lainnya. Serta ada tidaknya kebijakan diskriminatif.
Variabel kedua yakni regulasi sosial. Indikatornya peristiwa intoleransi. Selanjutnya dinamika masyarakat sipil terkait isu toleransi. Variabel ketiga yakni tindakan pemerintah. Indikatornya pernyataan pejabat kunci tentang isu toleransi. Selain itu, tindakan nyata terkait isu toleransi.
Variabel keempat yakni demografi sosio-keagamaan. Indikatornya yakni heterogenitas keagamaan penduduk. Selanjutnya inklusi sosial keagamaan.
Hasil scoring Indeks Kota Toleran 2022 untuk sepuluh kota skor toleransi terendah sebagai berikut:
1. Cilegon dengan skor akhir 3,227
2. Depok dengan skor akhir 3,610
3. Padang dengan skor akhir 4,060
4. Sabang dengan skor akhir 4,257
5. Mataram dengan skor akhir 4,387
6. Banda Aceh dengan skor akhir 4,393
7. Medan dengan skor akhir 4,420
8. Pariaman dengan skor akhir 4,450
9. Lhokseumawe dengan skor akhir 4,493
10. Prabumulih dengan skor akhir 4,510
Hasil scoring Indeks Kota Toleran 2022 untuk sepuluh kota skor toleransi tertinggi sebagai berikut:
1. Singkawang dengan skor akhir 6,583
2. Salatiga dengan skor akhir 6,417
3. Bekasi dengan skor akhir 6,080
4. Surakarta dengan skor akhir 5,883
5. Kediri dengan skor akhir 5,850
6. Sukabumi dengan skor akhir 5,810
7. Semarang dengan skor akhir 5,783
8. Manado dengan skor akhir 5,767
9. Kupang dengan skor akhir 5,687
10. Magelang dengan skor akhir 5,670
Hasil evaluasi terhadap kota di peringkat terendah IKT 2022 SETARA Institute menyimpulkan bahwa kota dengan Kepemimpinan yang mengedepankan identitas agama tertentu baik pada visi dan misi cenderung akan menerbitkan kebijakan-kebijakan favoritisme identitas agama yang mewakili dirinya. Perspektif mayoritaniasme atau perspektif viktimisme minoritas-mayoritas menjadi dasar penyelenggaraan kebijakan, sehingga pemerintah kota memiliki kecenderungan untuk menyelenggarakan program-program yang eksklusif dan hanya berorientasi kepada kelompok tertentu.
Dinamika masyarakat sipil di bawah kepemimpinan pemerintah kota yang tidak memiliki kesadaran akan kemajemukan dan kebinekaan akan cenderung menciptakan ruang-ruang segregasi sosial yang membuat masyarakat semakin terpolarisasi oleh identitas keagamaan, etnis dan kelompok lainnya. Masyarakat sipil di kota-kota dengan perspektif favoritisme dan formalisme
cenderung kehilangan daya nalar demokrasinya. Daya interaksi kritis masyarakat melemah dan terjadi pengabaian terhadap kelompok-kelompok minoritas. ” Jika keadaan ini berlangsung secara terus menerus, langkah-langkah kekerasan terhadap kelompok rentan dapat dengan mudah terjadi, karena masyarakat sudah kehilangan kuasa untuk menemukan perekat hubungan antar kelompok yang berbeda identitas,” tulisnya.
Pemerintah kota yang tidak mengelola kehidupan kerukunan dan toleransi pada umumnya juga tidak banyak memberikan ruang perlindungan serta kurang memfasilitasi kebebasan merayakan hari-hari besar agama. Selanjutnya, pemerintah kota lebih banyak mengorientasi kebijakan-kebijakannya dengan menggunakan pendekatanpendekatan keagamaan yang dianutnya. (AL-03)