Beranda OPINI Mengakhiri Politik Proyek: Saatnya Pokir Dihapus dan Musrenbang Dipulihkan

Mengakhiri Politik Proyek: Saatnya Pokir Dihapus dan Musrenbang Dipulihkan

0
Koordinator Koalisi Kampung Kota, Muhammad F. Hafiz (Foto : Dok/Istimewa)

Oleh : Muhammad F. Hafiz (Koordinator Koalisi Kampung Kota) 

Kata Pokir sangat populer meskipun banyak yang tak paham makna, prinsip, apalagi filosofinya. Kata ini berjalan beriringan dengan kata reses dan dana aspirasi. Kedua Kata inipun sama saja, tak dimengerti publik.

Belakangan orang cuma bicara kasus-kasus korupsi yang melibatkan tiga kata ini. Tapi tak tahu sedang membahas apa sebenarnya.

Di sisi lain, kelompok yang mengetahui dengan baik seluk-beluk Pokir, enggan melihat Pokir dengan sudut pandang lain. Padahal kejadian demi kejadian menunjukkan Pokir amat ringkih sebagai sebuah instrumen sehingga mudah diutak-atik untuk kepentingan sempit.

Pokir sejak awal dimaksudkan sebagai instrumen bagi DPRD untuk menampung aspirasi masyarakat. Namun praktik selama dua dekade pemerintahan daerah menunjukkan realitas yang berbeda. Pokir telah berevolusi menjadi daftar proyek by request dari legislator kepada eksekutif, yang seolah wajib masuk dalam APBD jika ingin proses pembahasan anggaran berjalan mulus. Pada titik itu, peran DPRD —yang seharusnya mengawasi penggunaan anggaran— secara sistemik terdorong untuk ikut menentukan penggunaan anggaran. Inilah awal mula tumpang tindih kewenangan yang memunculkan potensi konflik kepentingan.

Pokir: antara cita-cita dan patologi kekuasaan

Pokir yang kemudian diketahui umum lewat jalan gang berbatu-sikat di depan pintu pagar rumah mereka, sebenarnya punya kedudukan hukum sangat debatable. Pokir bukan nomenklatur yang muncul dari konstitusi. Tidak ada satu pun pasal Undang-Undang yang mewajibkan DPRD menentukan proyek pembangunan.

UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah hanya menyatakan bahwa DPRD wajib menyerap dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. PP 12/2018 menegaskan fungsi DPRD dalam tiga dimensi: legislasi, budgeting, dan pengawasan. Sementara Permendagri 86/2017 sekadar membuka kemungkinan pokir masuk ke dokumen perencanaan daerah sebagai masukan aspiratif.

Di atas kertas, itu tampak baik-baik saja. Namun dalam praktik, Pokir berkembang menjadi:
1. Daftar proyek konkret, bukan sekadar usulan aspiratif.
2. Alat tawar menawar persetujuan APBD, sehingga pembahasan anggaran berjalan jika dan hanya jika Pokir diakomodasi.
3. Jalur informal untuk mengatur siapa yang mengerjakan proyek, melalui hubungan kedekatan dengan penyedia barang dan jasa atau kontraktor lokal.

Konsekuensinya fatal: keseimbangan kekuasaan dalam desain pemerintahan daerah terdistorsi. DPRD bukan hanya menyetujui dan mengawasi anggaran, tetapi ikut menentukan penggunaannya. Akibatnya, yang diawasi adalah program yang mereka usulkan sendiri. Inilah yang disebut lingkaran moral hazard.

Mengapa Pokir harus dihapus?

Bukan karena DPRD tidak boleh menyerap aspirasi publik. Bukan pula karena aspirasi rakyat tidak penting. Justru sebaliknya: karena aspirasi rakyat sangat penting, maka ia tidak boleh digunakan sebagai komoditas elektoral dan ekonomi oleh elit politik.

Ada tiga alasan fundamental mengapa Pokir perlu dihapus:

1. Konflik kepentingan yang melembaga.
Tidak ada sistem demokrasi sehat yang memungkinkan pihak pengawas sekaligus menjadi pihak yang menentukan apa yang diawasi. Ketika DPRD ikut menentukan proyek, potensi benturan kepentingan tidak terhindarkan.

2. Politik tebusan dalam penganggaran.
Banyak daerah terjebak pola transaksional: persetujuan APBD berjalan jika Pokir diakomodasi. Ini menciptakan ketergantungan struktural antara eksekutif dan legislatif, dan pada titik tertentu, memperdagangkan anggaran publik.

3. Perencanaan pembangunan kehilangan arah.
Pembangunan yang seharusnya berbasis data, kebutuhan teknis, kajian akademik, dan rencana jangka panjang sering kalah oleh usulan ad-hoc berbasis kebutuhan elektoral. APBD pun bukan lagi instrumen pembangunan, melainkan instrumen pembagian proyek.

Selama ruang Pokir tidak dibenahi, reformasi birokrasi hanya seperti mengalirkan air bersih melalui pipa berlubang —bersih di hulu, keruh di hilir.

Alternatifnya sangat jelas: Pulihkan Musrenbang

Usulan menghapus Pokir bukan seruan untuk menutup akses masyarakat terhadap proses pembangunan. Justru sebaliknya: agenda ini ingin mengembalikan partisipasi publik ke jalur konstitusional yang benar.

Desain tata kelola idealnya adalah:

Usulan pembangunan → melalui Musrenbang berjenjang
dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi.

Perencanaan teknokratis → menjadi ranah eksekutif, berbasis kajian dan kebutuhan.

Persetujuan dan pengawasan → menjadi ranah DPRD, menjaga agar program tepat sasaran dan bebas dari penyimpangan.

Dengan model ini, aspirasi tetap tersalurkan, namun penganggaran dan pengawasan tidak tercampur.

Yang diperbaiki bukan partisipasi masyarakat –‘yang diperbaiki adalah mekanisme politik yang merusaknya.

Momentum politik dan sosial yang tepat

Saat ini merupakan momentum terbaik untuk mengembalikan integritas pembangunan daerah:

Kesadaran publik atas korupsi semakin tinggi.
Sistem digital perencanaan, seperti SIPD dan e-planning, semakin matang.
Tekanan fiskal daerah menuntut efisiensi dan efektivitas anggaran.

Generasi muda pemilih mulai kritis terhadap politik transaksional.

Dengan semua prasyarat itu, keberanian politik untuk menghapus Pokir bukan hanya memungkinkan —tetapi mendesak.

Perubahan ini juga bukan ancaman bagi DPRD. Justru ini penyelamatan martabat dan kredibilitas lembaga legislatif. Dengan tidak lagi terlibat dalam praktik proyek, DPRD dapat memulihkan peran terhormatnya sebagai penjaga uang rakyat, bukan pembelanja uang rakyat.

Kesimpulan untuk publik

Penghapusan Pokir bukan sekadar opsi teknokratis. Ini adalah pilihan moral dan politik: apakah kita ingin pembangunan daerah diarahkan oleh kebutuhan rakyat atau kebutuhan politisi?

Musrenbang harus kembali menjadi satu-satunya pintu usulan pembangunan.
Eksekutif harus kembali menjadi pelaksana pembangunan.
DPRD harus kembali menjadi pengawas pembangunan.

Dan rakyat harus mendapatkan pembangunan yang bebas dari transaksi, negosiasi politik, dan kompromi elektoral.

Pada akhirnya, pertanyaannya tinggal satu: Berani kah kita mewujudkan pembangunan tanpa politik proyek?

Artikulli paraprakSINKRONISASI PROGRAM PADA RPJMD/RPD DENGAN APBD TAHUN ANGGARAN 2025
Artikulli tjetërNTB Mendunia, Lotim Smart: Tetapi Mengapa Sampah Tak Juga Teratasi?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini