Masih ingat dengan Farid Makruf? Dia adalah Komandan Korem (Danrem) 162/Wira Bhakti tahun 2016—2018.
Saat itu Farid bertugas di NTB, dia berpangkat Kolonel. Kini, Farid menyandang pangkat bintang dua yakni Mayor Jenderal. Mayjen Farid Makruf, MA kini menjabat sebagai Pangdam V/Brawijaya sejak 30 Desember 2022. Pria kelahiran kelahiran tanggal 6 Juli 1969 oleh Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan ini disebut sebagai prajurit sarat prestasi.
Beberapa hari belakangan ini, nama Farid Makruf viral di media sosial yakni di tiktok. Tapi bukan karena prestasinya itu, kepulangannya ke kampung halamannya di Madura, yang membuatnya viral. Pada video yang diunggah akun Ainul YaqinS.M itu, nampak Farid menemui sang ayah yang sudah sepuh. Di hadapan ayahanda yang duduk di kursi roda itu, Farid yang berseragam dinas itu menunjukkan lencana jabatannya sebagai Pangdam. Dia juga menunjukkan pangkat Bintang Dua yang tersemat di pundaknya itu. ” Iki bintang dua,” katanya sambil menunjukkan pangkatnya itu. Video ini disukai 3854 dan dikomentari 218 orang.
Dikutip dari Catatan Dahlan Iskan yang berjudul ”Master Letnan” yang terbit di Disway.Id, Jumat (13-01-2023), Dahlan menulis perjalanan karir Farid. Dahlan membuka tulisannya dengan menulis anak pasar jadi jenderal yang menggambarkan sosok Farid yang banyak menghabiskan waktu di masa kecilnya di pasar Tanah Merah, Bangkalan, Madura tempat sehari-hari ibunya berjualan.
Farid-kecil menyatu dengan pasar itu. Ia jadi tukang antar barang ke langganan toko ibunya.”Sejak kecil saya sudah jadi go-send,” guraunya. Farid adalah anak pasar. Siapa nyana ia bisa jadi jenderal.
Saat bertugas sebagai anggota pasukan Kopassus, Farid mengisi waktunya dengan kursus bahasa Inggris. Saat Kopassus punya program mengirim anggota sekolah ke luar negeri, Farid ikut terpilih. Farid berangkat ke Inggris. Ia masuk program master: studi masalah keamanan. Dengan spesialisasi Tiongkok. Farid lulus: dapat gelar master. Padahal belum punya ijazah S1. “Saya dinilai memenuhi syarat untuk langsung masuk program master. Tanpa gelar S1,” ujarnya.
Belajar tiga tahun di Akabri ditambah pembelajaran selama penugasan di Kopassus dianggap layak ikut program master.Dengan demikian ketika pangkatnya masih letnan satu, Farid sudah punya dua gelar MA: Madura Asli dari Tanah Merah dan Master of Art dari Inggris. Kenapa pilih spesialisasi Tiongkok?. Farid punya dua alasan. Pertama, ia melihat Tiongkok akan jadi negara maju. Dan itu terbukti.
Farid selalu berhasil mengikuti latihan apa pun di Kopassus. Sampai pun untuk kualifikasi yang paling tinggi: Sandi Yudha. Sering pula ia yang nomor satu. Kemampuan fisiknya itulah yang membuat ia hampir frustrasi ketika dapat penugasan yang serba senyap di ”bawah tanah”.
Tapi dengan tambahan kemampuan bahasa Inggris, Farid unggul di banyak hal. Ia sering masuk delegasi penting ke luar negeri. Pun ketika Indonesia harus menjelaskan masalah pelanggaran HAM ke Kongres Amerika Serikat. Farid ada di dalamnya: menghadapi 7 anggota Kongres.
Akhirnya Farid dapat tugas memimpin pasukan besar: jadi komandan Brigif 13 Galuh. Markasnya di Tasikmalaya. Tentu pengalaman internasional Farid melebihi lingkup sebagai Dan Brigif.
Farid populer sekali di Tasik. Meski jabatannya Dan Brigif, Farid menjadi koordinator banyak pejabat tinggi di sana. Tiga kepala daerah, tiga pimpinan DPRD, instansi-instansi horizontal, semua meminta Farid menjadi koordinator mereka.
Ketika jadi Danrem 162/Wira Bhakti di NTB, Farid menyelesaikan urusan rumit melebihi jabatannya: pembebasan tanah lokasi Mandalika. Kalau tanah seluas lebih 100 hektare itu tidak terbebaskan balap motor Motor GP yang mendunia itu tidak bisa terselenggara di sana.
Tentu, itu sebenarnya bukan urusan Danrem. Tapi sudah lebih 30 tahun soal tanah Mandalika tidak terselesaikan. Tanah itu awalnya sudah menjadi milik perusahaan Mbak Tutut. Putri Pak Harto itu pun sudah menjualnya ke perusahaan Kuwait.
Lalu terjadi krisis moneter 1998. Pak Harto lengser. Rakyat menguasai kembali tanah itu. Ruwet. Banyak sekali yang ikut bermain. Pun aparat dan instansi. Tidak ketinggalan para preman. Ketika Presiden Jokowi menegaskan Motor GP tetap di Mandalika, Danrem melapor ke Kapolda NTB. Ia minta izin untuk ikut menyelesaikannya.
Kapolda dengan senang hati memberikan lampu hijau. Barulah Farid mendalami persoalannya. “Dandim saya yang luar biasa. Ia hebat sekali,” kata Farid merendahkan hati.
Farid pun memperoleh keyakinan bisa menyelesaikannya. Tapi ia tidak punya legalitas. Ia bukan pejabat di bidang itu. Pemerintah pusat akhirnya memberikan legalitas itu kepadanya. Ia diberi waktu 6 bulan.
Farid harus berkomunikasi dengan banyak kelompok. Pemilik tanah terpecah dalam banyak grup. Salah satu yang paling keras dipimpin seorang pengacara.
Mereka membawa dokumen tanah yang mereka bilang amat kuat. Farid memeriksa dokumen itu. Ia mencurigai sesuatu. Dokumen diserahkan ke polisi: untuk diperiksa di lab. Benar. Dokumen itu palsu. Kelompok paling keras pun seperti terong direbus.
Proses seterusnya Farid sering diundang rapat di Jakarta. Ia seorang kolonel. Rapatnya dengan para menteri: Menko Luhut Panjaitan, Menkeu Sri Mulyani, Menteri Agraria Sofyan Jalil, dan para pejabat tinggi di pusat. Pembicaraan sudah sampai tahap berapa rakyat harus diganti rugi.
Yang diinginkan rakyat, ternyata sebenarnya tidak setinggi yang disuarakan selama ini. Itulah yang sebenarnya membuat rumit: terlalu banyak gorengan. Banyak pejabat yang ikut pasang wajan.
Farid berhasil. Ganti rugi disepakati. Pusat menyediakan uangnya. Ganti rugi pun dibayarkan. Rakyat Mandalika senang bukan main. Saking senangnya mereka datang ke markas Korem. Membawa bungkusan. Isinya uang. Rp 200 juta.
Farid menolak. Ia mengatakan sudah mendapat biaya operasional dari pemerintah pusat. Tapi perwakilan pemilik tanah itu mengancam: kalau pemberian itu tidak diterima maka persaudaraan diputus. Farid pun membagi uang itu ke anak buahnya yang bekerja di lapangan.
Maka Farid bisa mengakhiri jabatan Danrem NTB dengan lega. Ia dipindah ke Mabes TNI. Tidak lama. Farid kemudian disuruh balik ke Lombok lagi. Ada gempa besar di sana. Ia harus jadi ketua penanganan korban gempa. Sampai selesai.
Setelah melewati beberapa jabatan lagi Farid kembali jadi Danrem. Kali ini di Sulteng, Danrem 132/Tadulako. Pangkatnya naik jadi brigadir jenderal. Bintang satu. Di Sulteng ia pun melihat tantangan baru: Poso. Soal ekstremis. Yang tidak kunjung selesai. Ada kelompok teroris yang masih sangat aktif: MIT, Mujahidin Indonesia Timur. Namun tugas berat yang dipikulnya bisa diselesaikan dengan baik.
Farid mengakhiri jabatan Danrem 132/Tadulako tahun 2021. Selanjutnya dia mendapat jabatan baru sebagai Dirdiklat Pusterad (2021—2022). Selanjutnya menjadi Wairjen TNI (2022) sebelum diangkat menjadi Pangdam V/Brawijaya (2022—Sekarang).(AL-03/disway.id)